banner here

Bagaimana Tradisi Puasa dalam Sastra dan Budaya Sunda?

- 01 Mei
advertise here

Bogor Group - RAMADAN memang bulan yang agung. Tak sekadar puasa, setiap kaum beriman diwajibkan menunaikan zakat, memperbanyak salat malam, membaca dan mengkaji kemuliaan Alquran. Karena istimewa, maka bulan Puasa disambut sukacita dengan berbagai kegiatan dan kebiasaan. Begitu pula dengan urang Sunda yang memadukan ibadah selama puasa dipadupadankan dengan kebudayaan Sunda.

Hal itu sangat beralasan karena antara Sunda dan Islam saling beririsan. Islam di Tatar Sunda datang dengan penuh kedamaian. Dalam antologi buku Islam dan Sunda dalam Akulturasi Timbal Balik yang disusun oleh Teddi Muhtadin dan Deni A Fajar, terdapat tulisan karya mantan Rektor IAIN (UIN) Sunan Gunungdjati Bandung, Rachmat Jatnika. Menurut Rachmat, sebelum agama Islam datang ke Tatar Sunda, orang Sunda telah memiliki budaya, yang menjadi adat istiadatnya. Gambaran ajaran dan budaya Sunda itu dapat dilihat dari pepatah-petitih, nasihat-nasihat, yang biasa didendangkan oleh anak-anak atau para remaja, yang merupakan hasil gubahan para bujangga Sunda.

Jejak keberislaman urang Sunda setidaknya terekam dalam karya tulis para bujangga Sunda. Bahkan, pada tahun 1913, muncul tulisan karya Haji Hasan Mustapa yang berjudul Bab Adat-adat Urang Sunda jeung Priangan Lianna ti Éta. Dalam buku tersebut dipedar kebiasaan urang Sunda tatkala menjelang Ramadan dan merayakan hari Lebaran. Dari mulai nadran/nyekar, kuramas/diangir mandi, ngadulag (pukul beduk) hingga bersalaman antarwarga setelah khatib turun dari mimbar setelah salat Idulfitri. 

Jelas, timbal balik Islam dan Sunda dapat dibaca dalam kehidupan masyarakat dan karya-karyanya. Apabila masyarakat mewujudkannya dalam budaya keseharian. Maka para sastrawan Sunda ti baheula hingga ayeuna terus meramu ihwal keislaman dan kesundaan dalam karya sastra Sunda.

Sebelum menelisik puasa dalam sastra dan budaya Sunda, mari kita baca selintas pintas jejak sejarah puasa yang saya sarikan dari berbagai kepustakaan. Tradisi puasa ada di sebagian berbagai suku bangsa dan agama. Pada zaman Alexandria pimpinan Batlimus, tradisi puasa dilakukan dalam rangka kesehatan. Pun di negeri Yunani kuno, dokter Hippocrates, yang hidup pada abad ke-5 SM, telah menyusun cara-cara puasa untuk terapi pengobatan.

Dari negeri Tiongkok, pada abad ke-6 SM, seorang tabib dari Tiongkok bernama Shu Jhu Chi menulis satu bab khusus dalam kedokterannya tentang terapi puasa dan terapi makanan. Tidak hanya terkait dengan kesehatan raga, pemikir filsafat bernama Epicurus (341-270 SM), menjadikan puasa sebagai salah satu memberdayakan kekuatan pikiran dan kreativitasnya.

Umat Hindu dan Buddha pun melakukan puasa sesuai dengan ajaran dan kitab sucinya. Kita bisa melihat tradisi itu dengan jelas ketika kebetulan di pulau dewata. Kita tentu ingat dengan ”Catur Brata” berupa amati geni (tiada berapi-api/tidak menggunakan dan atau menghidupkan api), amati karya (tidak bekerja), amati lelungan (tidak bepergian), dan amati lelanguan (tidak mendengarkan hiburan). Mereka sebisa dapat mendekatkan diri kepada Tuhannya.

Mengosongkan perut

Kata ”puasa” berasal dari bahasa Sanskerta yaitu ”upa” yang berarti dekat atau mendekat, dan ”wasa” yang berarti Tuhan. Upawasa atau puasa bermakna mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Dalam Kamus Basa Sunda karya R Satjadibrata, kata puasa atau upawasa bermakna mengosongkan perut sepanjang siang. Ama Satja menambahkan, puasa itu terdiri atas puasa wajib, puasa sunat, dan puasa tirakat.

Terkhusus untuk orang Islam dan beriman, kewajiban puasa diperintahkan Allah swt dan termaktub dalam Alquran surat Al-Baqarah ayat 183, ”Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”

Hadis Nabi yang terkait dengan puasa pun cukup banyak dan ini bisa menjadi motivasi bagi yang belum yakin akan keutamaan puasa. Salah satu hadis yang sohéh adalah, ”Diriwayatkan dari Sahl bin Saad ra katanya: Rasulullah saw bersabda: Sesungguhnya di dalam Surga itu terdapat pintu yang dinamakan Ar-Rayyan. Orang yang berpuasa akan masuk melalui pintu tersebut pada Hari Kiamat kelak. Tidak boleh masuk seorang pun kecuali mereka. Kelak akan ada pengumuman: Di manakah orang yang berpuasa? Mereka lalu berduyun-duyun masuk melalui pintu tersebut. Setelah orang yang terakhir dari mereka telah masuk, pintu tadi ditutup kembali. Tiada lagi orang lain yang akan memasukinya.” (Bukhari-Muslim).

Bagi umat Islam di Tatar Sunda, puasa dalam bulan Ramadan tidak dianggap hanya ritus biasa. Puasa begitu istimewa. Malah, beberapa minggu sebelum Ramadan tiba, berbagai tradisi tahunan itu terus didawamkan.

Beberapa kearifan Sunda sebelum, ketika, dan setelah Ramadan adalah nyekar, munjungan, munggahan, papajar-botram-cucurak, tarawéh, ngabeubeurang-ngabuburit, ngabedahkeun-ngubek sétu, mamaleman, mudik, ngadulag, nganteuran, pelesiran/jalan-jalan.

Tradisi tersebut satu dengan yang lain saling berkaitan. Malah dalam beberapa hal hanya beda nama tetapi sama makna. Tentu saja dalam satu tradisi itu pun terdapat keragaman bentuk dan cara. Banyak yang unik dan penuh unak-anik.

Misalnya, dalam ngabuburit, urang Sunda di pedalaman Garut dan Tasikmalaya ada yang bermain lodong bebeledugan berupa mainan perang-perangan dari bahan bambu. Dalam ngabeubeurang dan ngabuburit, barudak Sunda di sekitar Gunung Puntang, Cimaung, Bandung asyik bermain lalaheran berupa mobil-mobilan yang terbuat dari papan kayu bekas.

Kekayaan bahasa

Tradisi itu dengan otomatis menambah kekayaan bahasa dan sastra Sunda. Tidak terkecuali dalam babasan dan peribahasa Sunda. Kita tentu ingat dengan kokoro manggih mulud puasa manggih lebaran. Ada pula terminologi seperti saur, puasa ayakan, nyémén, janari, mamaleman, dll. 


Nah, keagungan Ramadan itu oleh para pengarang sastra Sunda dijadikan ilham dalam menghasilkan karya dalam berbagai jenis sastra. Dalam novel, carita pondok, sajak, drama, sisindiran, dan guguritan makna, latar, dan jalan cerita banyak yang memberdayakan perihal Lebaran dan Puasa. Hal ini semakin meneguhkan bahwa karya sastra téh wawakil jirim jamanna. Sastra adalah mimesik. Sastra Sunda merupakan cermin dari kehidupan nyata.

Selain Haji Hasan Mustapa, beberapa sastra Sunda yang memberdayakan momen Puasa dan Lebaran dalam karyanya adalah Rahmatullah Ading Afandi (RAF) dalam buku Dongéng Énténg ti Pasantrén (1961). Lalu, ada nama Ahmad Bakri. Pengarang Sunda dari Ciamis yang produktif itu bahkan disebut-sebut sebagai pengarang yang sangat mahir dalam mendeskripsikan suasana puasa di Tatar Sunda. Dalam buku Dukun Lepus (2002) setidaknya ada dua judul carpon yang khusus menggarap fenomena puasa, yaitu dalam judul ”Lebaran Poé Jumaah” dan ”Beduk ti Nagri Ajrak”. Selain dua karya fenomenal tersebut, masih ada karya Ahmad Bakri yang memberdayakan momen puasa yaitu Srangéngé Surup Mantén (1968) dan Payung Butut (1989). 

Setelah generasi Ahmad Bakri makin banyak pengarang Sunda yang mendedah tema puasa melaui karya sastra Sunda. Satu nama yang cukup produktif adalah Usep Romli. Mantan abdi negara (PNS/ASN) yang lalu menekuni jurnalistik di grup Pikiran Rakyat tersebut sering menulis prosa dan puisi terkait dengan Ramadan di berbagai media bahasa Sunda semacam Manglé, Galura, dan Sunda Midang. Setidaknya jejaknya dapat dibaca di buku kumpulan carponnya berjudul Paguneman jeung Firaon (2003). Bahkan sejak pemilihan judul pun Usép Romli sudah terang-terangan menceritakan kisah yang terkait dengan bulan Puasa yaitu carpon ”Lailatul Qodar”. 

Adapun beberapa pengarang Sunda yang memberdayakan momen Ramadan, bulan Puasa, dan Lebaran antara lain Sjarif Amin, Eddi S Iskandar, Etti RS, Rosyid E Abby, Dian Hendrayana, serta Dadan Sutisna. (Djasepudin, esais, aktif di Panglawungan Sunda Bogor)***

Sumber: Pikiran Rakyat
Advertisement advertise here
 
banner here