Bogor Group - Jakarta - Kamis, 30 September 1965, siang Letnan Jenderal Ahmad Yani pulang ke rumah dinasnya, Jalan Lembang Terusan Nomor 58, Menteng, Jakarta Pusat, dengan wajah bahagia dan ceria. Setelah mendapatkan hormat dari para penjaga, Menteri Panglima Angkatan Darat itu masuk ke rumah.
Di depan pintu keempat putrinya, Amelia Yani (Ninik), Elina Lilik Elastria (Juwik), Widna Ani Andriani (Nanik), dan Reni Ina Yuniati (Yuni), menyambut. Selain mereka, Yani memiliki dua putri lagi dan dua putra, yakni Indria Ami Rulliati (Rully), Herlia Emmy Rudiati (Emmy), Untung Mufreni (Untung), serta Irawan Sura Eddy.
"Seperti biasa, setiap tiba di rumah, Bapak selalu tanya, Ibu nandi (Ibu di mana)," cerita Elina, yang biasa disapa Juwik, saat berbincang dengan detikcom, Jumat (29/9/2017).
Keempat anaknya menjawab serentak, "Ibu di dapur, sedang memasak."
Ahmad Yani dan keempat anak perempuannya kemudian berbincang-bincang di sebuah minibar yang terletak persis di seberang meja makan. "Mengko tanggal 5 Oktober kabeh melu Bapak ndelok defile nang Istana, kabeh mbolos sekolah wae (Nanti tanggal 5 Oktober kamu semua ikut Bapak melihat defile di Istana. Semua membolos saja dari sekolah)," kata Yani kepada keempat anaknya ketika itu.
Tentu saja Ninik, Juwik, Nanik, dan Yuni senang dengan ajakan itu. Mereka terus asyik bercengkerama hingga tak sengaja minyak wangi yang ada di atas bar jatuh dan isinya tumpah. "Minyak wangi itu oleh-oleh Bapak dari luar kota," kata Juwik.
Oleh Yani, tumpahan minyak wangi tersebut dioleskan ke tangan dan badan keempat anak perempuannya itu. "Nek ditakoni uwong seko endi wangine, kandakke nek wangine seko Bapak (Kalau ditanya orang dari mana kau dapatkan bau wangi ini, katakan wanginya dari Bapak)," kata Yani.
Selepas makan siang, lelaki kelahiran Purworejo, Jawa Tengah, 19 Juni 1922, itu ke Senayan untuk latihan golf bersama Bob Hasan. Namun tak lama, karena sore harinya dia harus menerima sejumlah tamu. Hari itu baru sekitar pukul 22.00 WIB semua tamu Ahmad Yani pulang.
Setelah semua tamu pulang, Yani langsung masuk kamar untuk tidur. Beberapa anaknya masih belajar hingga pukul 23.00 WIB. Sementara sang istri, Yayu Rulia Sutowiryo, malam itu menggelar tirakat di rumah dinas MenPangad di Jalan Taman Suropati, Menteng.
Istirahat keluarga Yani terusik ketika segerombolan prajurit Tjakrabirawa tiba-tiba merangsek masuk ke rumah pada pukul 04.00 WIB, Jumat, 1 Oktober 1965. "Sepatu lars di kaki mereka menimbulkan bunyi derap yang mengerikan," kenang Amelia Yani dalam buku 'Ahmad Yani Tumbal Revolusi'.
Irawan Sura Eddy, anak bungsu Yani yang ketika itu berusia 7 tahun, membangunkan sang ayah. Hampir semua sudut rumah Yani malam itu telah dikepung oleh prajurit Tjakrabirawa. Hal inilah yang membuat Eddy takut dan bergegas lari ke belakang rumah dan bersembunyi di balik sebuah mesin jahit.
Yani, yang keluar dari kamar, kemudian bertanya kepada tiga prajurit Tjakrabirawa yang sudah masuk ke rumahnya hingga sampai di depan ruang makan, "Ada apa?"
"Siap, Jenderal! Bapak diminta menghadap Presiden Sukarno sekarang juga!" jawab salah satu prajurit. Terjadilah ketegangan antara Yani dan tiga prajurit Tjakra tersebut. Yani sempat melayangkan tinju ke salah satu prajurit. Rekan prajurit tersebut kemudian memberondongkan tembakan ke arah Yani.
Perwira tinggi TNI AD yang pernah mengikuti pendidikan di College, Fort Leavenworth, Texas, 1955-1956 itu pun roboh bersimbah darah. Persis di antara meja makan dan minibar, tempat dia bersama keempat putrinya bercengkerama 14 jam sebelumnya.
Prajurit Tjakrabirawa yang sudah disusupi PKI kemudian menyeret jenazah Yani dan membawanya ke daerah Lubang Buaya di kawasan Halim, Jakarta Timur. Bersama lima jenderal TNI AD lainnya, yakni Mayjen Suprapto, Mayjen MT Haryono, Mayjen Suparman, Brigjen Sutoyo Siswomihardjo, Brigjen DI Pandjaitan, dan Kapten Piere Tendean, jenazah Yani dimasukkan ke dalam sebuah sumur tua di daerah tersebut.
Jenazah keenam jenderal dan satu kapten itu baru ditemukan tiga hari kemudian, 3 Oktober 1965. Pada 5 Oktober, jenazah mereka dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata dengan iringan kendaraan taktis TNI.
Hari itu Ninik, Juwik, Nanik, Yuni bersama keempat saudaranya memang tak masuk sekolah. Namun bukan dalam suasana gembira karena membolos demi melihat defile seperti dijanjikan sang ayah lima hari sebelumnya, melainkan mengantar Ahmad Yani ke peristirahatannya yang terakhir.
"Kami kehilangan sosok Bapak. Dari kecil kami seperti cemburu dengan orang yang ada bapaknya, kami kehilangan figur seorang bapak," kata Eddy kepada detikcom, Kamis (28/9/2017).
Sumber: Detik
Advertisement