banner here

Prospek Perdamaian AS-Korut

- 12 Juni
advertise here

PERTEMUAN tingkat tinggi bersejarah antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan pemimpin Korea Utara (Korut) Kim Jong-un di Singapura (12/6) mengundang berbagai spekulasi.

Yang optimistis mengatakan diplomasi Trump-Kim akan membuka jalan lebar perwujudan keamanan dan stabilitas menyeluruh di kawasan Asia Pasifik. Sebaliknya suara bernada skeptis menyoal ketidakjelasan prospek dan fisibilitas agenda pascapertemuan. Apalagi kedua kepala negara baru berjumpa untuk pertama kali sehingga terlalu berlebihan bila beranggapan hasil konkret bisa segera direalisasikan.

Memang tidak mudah memperkirakan arah dan viabilitas suatu upaya diplomatik. Meskipun sinyal positif ditunjukkan Washington dan Pyongyang menjelang keberangkatan rombongan Trump maupun Kim, serta sambutan bersemangat pemerintah Singapura, realitas politik ke depan masih penuh tanda tanya. Pertama, keputusan Trump untuk bertemu langsung dengan Kim baru ditegaskan saat menit terakhir, setelah Trump mendapati sekutu dekat Amerika Serikat dan mitra ekonomi global, tergabung dalam Group of Seven (G-7), yang sedang berunding di Kanada kurang merespons antusias langkah-langkah Trump di arena internasional.

Trump merasa gusar terutama karena tuan rumah Kanada menolak perang dagang Amerika Serikat terhadap Tiongkok. Sebelum bertolak ke Kanada, Trump sempat membuat tweet menyebut rencana bertemu Kim tidak lagi penting buat Amerika. Tidak satu pun pejabat tinggi di Washington yang mengonfirmasi kebijakan Trump tentang Korea Utara. Apakah konsisten di jalur damai atau tetap siaga militer. Faktanya kapal induk USS Cole aktif hilir mudik di Laut Jepang dan perairan Korea Selatan (Korsel).

Kedua, banyak pihak menghubung-hubungkan pertemuan di Singapura dengan kesuksesan diplomasi Korea Selatan-Korea Utara April lalu. Argumennya sederhana. Karena Korea Selatan ialah kawan terdekat Amerika Serikat di Asia Timur selama lebih dari enam dasawarsa, efeknya akan terasa ke perundingan Trump-Kim.

Logika politik internasional tidaklah linear. Hubungan bilateral Korea Selatan-Korea Utara lebih banyak diwarnai nuansa emosional dan politik sentimental dua bangsa bersaudara yang terpaksa bermusuhan disebabkan perbedaan ideologi liberal dan sosialis Perang Dingin. Sebaliknya urusan Amerika Serikat-Korea Utara fokus pada kepentingan strategis, kekuasaan dan keamanan berdimensi konflik antarnegara besar.

Di balik Korea Utara ada Rusia dan Tiongkok. Sementara itu, bersama Amerika Serikat ialah Jepang dan India. Mereka semua punya definisi dan orientasi berbeda kalau bersinggungan dengan masalah nuklir Korea Utara. Mulai mekanisme perimbangan kekuatan tradisional berbasis kalkulasi senjata hingga program institusionalisasi interaksi antaraktor kawasan yang sangat dinamis.

Sekadar ilustrasi, inisiatif six-partiy meeting mencakup kelima pemain utama plus Korea Utara yang digagas Presiden Bill Clinton, dan sempat dihidupkan kembali oleh Presiden Barack Obama, kandas begitu saja akibat gagal meresolusi isu sensitif nuklir dan peta pergeseran strategis.

Ketiga, berkaitan dengan variabel kedua, Trump optimistis dirinya mampu menegosiasikan poin rumit denuklirisasi Korea Utara hanya berbekal pengalaman sebagai pebisnis ulung.

Kapasitas pribadi Trump di dunia bisnis memang tidak usah diragukan. Namun, yang dihadapi sekarang dan nanti setelah acara di Singapura ialah seorang politikus muda, ambisius, dan berkepribadian sulit diprediksi.

Kemunculan Kim mengejutkan masyarakat internasional dan kiprahnya selama tujuh tahun memimpin Korea Utara penuh kontroversi. Mulai modernisasi ekonomi, konsolidasi domestik, hingga akselerasi kemampuan militer Korea Utara yang di luar dugaan dan nyaris tidak diperhitungkan berbagai kalangan termasuk analis di Washington. Kim melejit ke panggung utama dan berhasil menarik Korea Selatan dan Amerika Serikat untuk berunding.

Penguasaan taktik berdiplomasi Kim pun mengesankan. Betapa tidak? Kim piawai menahan diri untuk tidak terprovokasi oleh gaya dan aksi unilateral Trump yang tidak menghiraukan tata krama dan norma diplomasi internasional.

Jika dibandingkan dengan Trump yang royal dengan statement bombastis, Kim memilih irit bicara, dan lebih menonjolkan gestur fisik. Walhasil, itu berefek pada simpati dan apresiasi pada kualitas kepemimpinan Kim. Karena itu, diplomasi Trump-Kim akan mengedepankan deal personal. Singapura akan menjadi putaran pertama dari pendekatan dan tawar-menawar lebih lanjut.

Akhirnya, seperti drama diplomasi yang biasa dipertontonkan Trump, faktor penentu bukan pada deklarasi apa yang dibuat, melainkan seberapa serius dan memadai konsesi yang dibuat.

Trump berjanji bahwa tidak ada penggantian rezim di Korea Utara, Amerika Serikat menjamin keamanan Kim dan Korea Utara, serta memberikan bantuan teknis untuk meningkatkan ekonomi Korea Utara.

Sebagai imbalan Kim berkomitmen melucuti senjata rudal balistik miliknya. Kedua pihak sepakat berkompromi secara distributif. Trump sering berujar, ”Never miss big deals.” Jadi, kuncinya ada pada konsistensi Amerika Serikat yang berimplikasi pada Korea Utara.

Penulis: I Gede Wahyu Wicaksana 
Dosen Hubungan Internasional FISIP Universitas Airlangga Surabaya.
Advertisement advertise here
 
banner here