Bogor Group - Manusia di zaman now tidak pernah lepas dari kemajuan teknologi, sejalan dengan berkembangnya ilmu pengetahuan. Teknologi pun hadir untuk mempermudah dan membantu pekerjaan manusia agar lebih efektif dan efisien hingga suatu titik masyarakat mulai terlena dengan teknologi. Mereka lebih memilih sesuatu yang instan, cepat, dan praktis. Dengan keadaan tersebut, sifat konsumerisme manusia mulai muncul juga akan menyebabkan sikap individualisme.
Rasa sosial mereka pudar dan akhirnya hilang. Manusia seakan-akan seperti diperalat teknologi dan kehilangan jati dirinya. Kebergantungan pada teknologi memberikan dampak buruk bagi peradaban.
Manusia merasa bahwa dengan teknologi semua bisa teratasi. Dengan mudahnya mereka bisa membalikkan keadaan, mengatur suasana bahkan berlomba-lomba menjadi yang terbaik, berusaha membangun citra di mata orang lain.
Fenomena di zaman now ini mendapat sorotan mendalam dari budayawan Emha Ainun Nadjib lewat buku terbarunya berjudul Kiai Hologram. Pada Bab 'Mengantar Anak-anakku ke Gerbang Peradaban Baru' di halaman 39, ia bercerita, kini tidak mudah menentukan ke sekolah atau pesantren mana anak-anak mereka akan dikirim untuk menuntut ilmu.
Sekolah-sekolah semakin tidak fokus pada anak didiknya yang manusia dan hamba Allah. Sekolah mengabdi pada pencitraannya sebagai lembaga pendidikan. Anak didik diperalat untuk laba materi.
Emha pun bercerita, dirinya berasal dari keluarga turun-temurun yang tidak istimewa. Hanya rakyat biasa tanpa riwayat kependidikan yang memadai, tanpa sejarah tentang sukses, bukan tokoh masyarakat, tidak kaya secara ekonomi, tidak menonjol di bidang apa pun.
Selama sekian generasi, regenerasi yang dilakukan berlangsung aman-aman saja. Turun-temurun anak-anak selalu bisa bersekolah, sekadar supaya tidak kehilangan integritas di lingkungannya, supaya bisa menyesuaikan diri dengan irama dan kepatutan budaya zamannya.
Namun, cetus Emha, semua yang ideal itu kini luntur, pupus, bahkan sirna sejak negara Indonesia menjadi modern. Fondasi sosial berubah, konstruksi bangunan budaya berubah, landasan dan tujuan hidupnya berubah.
"Kami digiring memasuki peradaban baru yang serbacanggih. Pencapaian-pencapaian teknologi tinggi, besar, raksasa sampai mikro dan nano, membuat segala sesuatu serbahebat dan dahsyat. Sampai manusianya tenggelam dan terpendam," sebutnya.
Agama globalisasi
Anggapan yang berlaku kini, yang penting bukan manusianya, melainkan status sosial, harta benda dan kekuasaannya. Bagi sekolah dan universitas bukan ilmu yang penting, melainkan gelar sarjananya. Bukan tujuan hidup yang penting, melainkan pemilik keduniaannya.
"Dalam beragama pun yang utama bukan rida Allah melainkan gaya kealimannya, branding keulamaan, gengsi cendekiawannya, serta keuntungan materi di dunia maupun pahala material di surga. Di semua peta sosial, yang primer bukan yang kebenaran, kebaikan dan kemuliaan melainkan kemenangan, kegagahan, dan keunggulan," sindir penulis yang telah menerbitkan puluhan buku itu.
Masyarakat Indonesia didesak tanpa bisa mengelak untuk memeluk agama globalisasi. Tuhannya Mahaberkuasa, tidak bisa dilihat dan ditemukan secara pancaindra. Mungkin segerombolan makhluk hebat internasional atau entah apa pun mengatur keuangan, peta kekuasaan, dan muatan pikiran manusia sedunia. Malaikat dan iblisnya mungkin beberapa mesin kekuatan politik di sejumlah titik.
"La tudrikuhul abshar, wa Huwa yudrikul abshar, wa Huwal Lathiful Khabir, atau Dia tidak bisa dilihat oleh semua makhluk, Dia mampu melihat semua makhluk, Dia Mahalembut dan Mahamengabarkan," tulis Emha di halaman 42.
Tuhan globalisasi tak terlihat, tetapi mengabarkan kitab-kitab suci kepada kami. Ada kitab suci kapitalisme, sosialisme-liberal, dan berbagai ramuan lainnya. Termasuk pendirian agama-agama baru seperti radikal, fundamental, moderat, dan lainnya.
Salah satu bahasan menarik tertulis di halaman 137. Pada tulisan yang juga menjadi judul buku ini Kiai Hologram (Tuhan itu ada beneran. Po?)
Emha menulis, dirinya tidak pernah beranggapan bahwa ada orang, terutama pada zaman sangat modern ini, yang butuh dinasihati, diceramahi, dikasih pengajian, atau minta pencerahan.
Ia mengungkapkan, hidup di jagat raya gaib, tak ada sesuatu hal yang sungguh-sungguh dia mengerti. Di hadapan Tuhan, dirinya merasa aman berbekal ketidakpahaman sebab tak ada risiko hukum bagi yang tidak paham.
"Itu bukan hanya menyangkut, kenapa aku dipaksa menjadi orang Jawa. Tanpa tawar-menawar dijadikan putra ibu-bapaku. Tidak dikasih tahu berapa jatah detak jantungku. Kenapa pertumbuhan sel-selku dihentikan pada tinggi badan sekian. Meskipun aku bersyukur bagian tertentu dari jasadku dihentikan pertumbuhannya oleh Allah," kata penulis kelahiran Jombang, Jatim, 27 Mei 1953 itu.
Bayangkan jika alat kelamin yang dimiliki manusia dibiarkan terus tumbuh, memuai, dan memanjang. Sampai 1 meter saja sudah susah bukan main. Bagaimana kalau 1 kilometer? Bayangkanlah teknologi dan tata budaya yang kau perlukan dan kau repotkan.
"Di hadapan Tuhan Yang Maha Esa, kehidupan ini sesungguhnya hanya layers animasi dan hologram dengan durasi singkat."
Renungan ideologis
Dengan pembawaan dan gaya tuturnya yang khas, tulisan-tulisan dalam buku ini sangat identik dengan kesehariannya, satire, dan peka terhadap realitas yang terjadi. Kumpulan esai setebal 286 halaman ini dikemas dalam lima bagian tema besar, yaitu Hulu Cinta, Di Kenduri Cinta, Menguasai Indonesia, Masyarakat Tahlil, dan Menjadi Kekasih-Mu.
Dalam bahasanya, Cak Nun menjelaskan semua itu terjadi di dunia kekinian. Banyak renungan ideologis yang disuguhkan dengan tautan berupa kisah-kisah teladan. Baik itu nyata ataupun fiksi cerita-cerita itu tidak hanya menghibur, tetapi juga mampu menyadarkan jiwa agar lebih bijaksana.
Keputusasaan manusia dalam menemukan apa yang sesungguhnya nyata di dunia mendorong Cak Nun membahas perilaku-perilaku manusia di zaman generasi milenial. Meskipun manusia gemar membongkar kepalsuan-kepalsuan, sejatinya ia sendiri tengah menutupi hatinya dengan kepalsuan yang lain.
Pun demikian, jika kita masih tersesat dengan pola dan topeng yang sedang diperlihatkan sebagian orang. Cak Nun dengan lugas dan berani menyindir serta membongkar semua perilaku tentang dalih yang memantik pertentangan hebat. Secara bijak, kita diajak tabayun dan berpikir kemudian memperbaikinya secara perlahan.
Judul: Kiai Hologram
Penulis: Emha Ainun Nadjib
Penerbit: Bentang Pustaka
Terbit: Maret 2018
Tebal: 286 Halaman
Advertisement