banner here

Memaknai Tradisi Mudik Lebaran

- 11 Juni
advertise here

Bogor Group - Bagi sebagian besar umat Islam, mudik di penghujung Ramadaan merupakan sebuah ritual penting nan sakral. Terutama bagi mereka yang berada nun jauh di perantauan. Setelah lama berpisah dengan sanak keluarga dan handai tolan, tentunya ada kerinduan yang mengusik untuk bisa kembali berkumpul dengan sanak keluarga. Pertemuan jiwa dan raga yang penuh emosional antara anak dengan kedua orang tua dan anggota keluarga lainnya, diyakini bukan hanya pertemuan biasa. Namun merupakan bagian dari keasadaran diri seseorang dalam mengimplementasikan makna mudik bagi kehidupan yang penuh dengan dinamika ini. Sejauh manapun burung terbang, sekali waktu ia pasti kembali rumahnya.

Demikian sakralnya berlebaran bersama keluarga lewat tradisi mudik ini, sehingga para perantau telah jauh-jauh hari mempersiapkan bekal dan oleh-oleh untuk dibawa pulang ke kampung halaman. Mudik juga bisa dimaknai sebagai kerinduan mencipi penganan tradisional seumpama geukarah dan thimpan, atau berziarah ke makam orangtua yang telah tiada. Bisa juga sebagai wadah merenda kembali tali silaturrahmi yang sempat terputus dengan saudara dan orang sekampung.

Meski untuk mudik dibutuhkan banyak pengorbanan, mulai dari mempersiapkan tiket moda angkutan yang harganya melonjak tinggi saat menjelang lebaran. Atau pun padatnya arus mudik jika pulang dengan kendaraan pribadi. Namun semua pengorbanan itu terbayar lunas dan tidak bisa tergantikan harganya dengan nilai dengan apa pun --bila telah bersua kembali dengan orang-orang tercinta di kampong halaman.

Aroma desa yang khas dengan kekentalan kekerabatan yang masih alami dibandingkan kehidupan urban masyarakat kota yang penuh individualistik. Apalagi kala disambut tangis haru dan peluk cium dari sanak keluarga. Sejatinya mudik Idul Fitri sebagai implementasi dari kegembiraan dan jangan pula dirayakan secara berlebih-lebihan dan terkesan sombong. Sebab ada juga sebagian para pemudik yang ketika pulang sengaja memamerkan kemewahan seperti mobil baru dan barang-barang bawaan lainnya yang terkadang bisa menimbulkan kecemburuan sosial dari warga desa.


Tanpa Pamrih

Rasulullah selalu mengingatkan kita untuk mengulurkan tangan terhadap para anak yatim dan para fakir miskin yang ada di sekitar kita. Memang kaum duafa di pengujung Ramadhan berhak atas zakat fitrah. Namun terasa tak adil, jika kita yang berpunya ini hanya cukup merasa puas karena telah membayar zakat fitrah menjelang hari raya tiba. Sementara di sekitar kita banyak anak-anak yatim yang butuh uluran tangan di hari raya. Rasulullah saw bersabda, “Dekatilah mereka yang miskin, dan cintailah mereka, niscaya Allah akan dekat dengan kamu.”

Rasul bahkan memungut seorang anak yatim yang dilihatnya sedang beruraikan air mata di tengah-tengah sekumpulan anak-anak lainnya yang berpakaian baru dengan mainan di tangan. Sementara si anak yatim terlihat dekil dan kurus karena tak ada belaian kasih sayang dari kedua orang tuanya. Lalu Rasul mendekatinya dan membawa pulang anak yatim itu ke rumah baliau. Membelikannya pakaian baru, dan mengasihinya selayaknya anak sendiri. Sehingga si anak merasa bergembira, tersanjung dan tertinggikan kembali derajatnya.

Marilah sedapat mungkin untuk bisa membasuh air mata para anak yatim dan fakir miskin di hari nan fitri ini. Membuat mereka tertawa dan gembira, sesungguhnya itulah esensi mudik yang sesungguhnya. Bagi para pemudik yang punya lebih rezeki akan sangat mulia rasanya, jika sebelum mudik Idul Fitri, menanyakan terlebih dahulu kepada keluarga di kampung, berapa orang ada anak yatim yang perlu disantuni. Berapa orang fakir miskin yang butuh uluran tangan kita. Seperti firman Allah Swt, “Bila kamu bersyukur, pasti akan menambah nikmat bagimu.” (QS. Ibrahim: 7). Para mukmin sejati wajib bersyukur atas limpahan rahmat yang diberikan Sang Khalik.

Seyogyanya, ketika pintu Ramadhan telah tertutup, sebenarnya masih ada pintu lainnya yang disuruh buka oleh Allah dan Rasul, yaitu dengan menjenguk mereka yang papa. Jadi mudik Idul Fitri bukan sekadar pamer hasil kekayaan pada orang kampung. Namun menjadikan mudik lebih bermakna lagi dengan mencontoh perilaku Rasullullah dengan menyayangi anak yatim tanpa pamrih.


Sebab, ada juga bantuan atau sedekah yang ada udang dibalik batu. Apalagi bagi mereka yang sedang mempersiapkan diri bertarung dalam menghadapi pilkada dan pileg yang sudah di depan mata. Para pasangan calon (paslon) dan calon legislatif (caleg) biasanya kerap memanfaatkan momen Ramadhan dan Idul Fitri untuk menarik simpati pemilih dengan memberikan bantuan terutama menyasar warga kurang mampu.

Kesalehan sosial yang begitu tinggi hanya terlihat jika ada maunya. Ada yang tebar pesona dengan cara membagi-bagikan sembako. Ada yang membagikan kain sarung dan daging meugang. Ada yang bantu pembangunan masjid dan meunasah. Atau pemberian angpau yang di amlopnya bergambarkan wajah sang paslon lengkap dengan label partai. Apalagi jika ujung-ujungnya dalam sambutan pembagian sedekah itu terselip harapan, “Harap doa dan dukungannya!”

Namun jika mereka tidak sedang dalam posisi memperebutkan kursi, maka tak pernah terpikirkan hal-hal yang demikian. Sedekah yang berlandaskan pamrih semacam itu, hanya menjadi kamuflase bagi yang bersangkutan dan jauh dari kata berkah. Banyak orang yang berpura-pura ikhlas dan tulus dengan senyuman di bibir saja, namun dibalik itu terselip tujuan dan motivasi tertentu. Berharap adanya balas jasa dari orang yang diberikan santunan dan bantuan. Lihat saja spanduk ucapan menunaikan ibadah Ramadhan dan Idul Fitri yang berselipkan senyuman menawan --bertebaran di sepanjang jalan dan area publik.

Bahkan dalam sebuah ayat Allah Swt berfirman, “Sesungguhnya Kami memberi makanan kepada kalian hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah. Kami tidak menghendaki balasan dari kalian dan tidak pula (ucapan) terima kasih dari kamu.” (QS. al-Insan: 9). Bahwa sedakah yang punya nilai di sisi Allah, jika sedakah itu tidak punya pamrih kecuali berharap pahala dari Allah. Atau tangan kanan yang memberikan, tangan kiri tak perlu tahu.

Bagaimana seorang Umar Bin Khattab, pada waktu malam hari blusukan berkeliling hanya untuk mencari tahu, apakah masih ada di antara rakyatnya yang belum makan? Dan ketika Umar menemukan masih ada sebuah rumah yang dihuni oleh seorang wanita yang sedang merebus batu dalam kuali demi untuk mengelabui anaknya yang merengek minta makan karena kelaparan. Sontak membuat amirul mukminin merasakan telah gagal menjadi seorang pemimpin yang adil bagi rakyatnya. Hingga membuat Umar terisak dan cepat-cepat memerintahkan bawahannnya untuk membawa gandum ke rumah orang fakir miskin tersebut.

Raih Kemenangan

Sebenarnya, harta yang ada pada orang kaya itu hanya titipan semata, dan Allah Swt bisa saja mengambilnya kembali kapan pun Allah mau. Sang Khalik juga tak melarang seseorang memupuk harta kekayaannya, asalkan hartanya itu dipergunakan di jalan yang diridhai Allah. Terutama dengan menginfakkannya kepada anak yatim dan fakir miskin. Para pemimpin juga akan diminta pertanggungjawabannya kelak oleh Allah, jika masih ada anak yatim yang saat lebaran masih berlinangan air mata, dan para fakir miskin hanya mencium aroma daging meugang dari dapur rumah orang kaya.

Idul Fitri memang untuk meraih kemenangan setelah selama sebulan penuh berpuasa. Namun semangat untuk berbagi kepada sesama dalam bentuk kesalehan sosial, sejatinya tetap harus dikedepankan. Sehingga ada harmonisasi antara keduanya; menjaga hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan menjaga hubungan baik dengan manusia (hablum minannas). Itulah esensi mudik yang saat ini telah banyak tereduksi oleh hal-hal di luar keduanya. Sebab dalam kehidupan modern sekarang ini, semakin banyak orang yang hidup individualis dan jarang peduli dengan keberadaan orang lain.

Esensi mudik lainnya adalah untuk meleburkan kembali sejenak kehidupan kota yang “gersang” dan penuh dengan kepura-puraan, dengan kehidupan desa yang penuh kekerabatan dan kesetiakawanan sosial yang tinggi. Alam desa yang masih bersih dari polusi kemunafikan ini, hendaknya bisa dibawa ke perantauan. Sedangkan selama mudik, ajak warga desa dengan semangat dan etos kerja yang tinggi seperti halnya di perkotaan. Atau jika mampu, buka peluang usaha kerja bagi pemuda desa. Sehingga tumbuh simbiosis mutualisme antara pemudik dan warga desa.

Jangan sebaliknya, dengan mengajak dan memengaruhi warga desa dengan kegiatan negatif seperti membawa pengaruh kehidupan kota yang hedonis, serta membuldoser tatanan kehidupan desa yang religius. Sebab secara sosiologis, manusia sebagai makhluk sosial biasanya saling memengaruhi satu sama lainnya. Semoga mudik kita kali ini lebih termuliakan dan bermanfaat bagi kita semua. Mari raih hari kemenangan menjelang akhir Ramadhan ini dengan menjadi tamu Allah yang baru “pulang” dari medan pertempuran dalam melawan hawa nafsu. Wallahu a’lamu bish-shawab.

Rubrik Opini ditulis oleh:
Abd. Halim Mubary, Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga dan penghulu 
pada KUA Kecamatan Makmur, Bireuen. 
Email: halim_mubary@yahoo.com
Advertisement advertise here
 
banner here